BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam kehidupannya tidak pernah terlepas dari berbagai permasalahan, baik yang tergolong sederhana sampai yang kompleks. Semua itu membutuhkan kesiapan mental untuk menghadapinya. Pada kenyataannya terdapat gangguan mental yang sangat mengganggu dalam hidup manusia, yang salah satunya adalah depresi. Gangguan mental emosional ini bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dari kelompok mana saja, dan pada segala rentang usia. Bagi penderita depresi ini selalu dibayangi ketakutan, kengerian, ketidakbahagiaan serta kebencian pada mereka sendiri.
Ibu yang baru saja mengalami proses reproduksi sangat membutuhkan dukungan psikologis dari orang-orang terdekatnya. Kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dapat menyebabkan penurunan psikologis yang akan menyebabkan ibu menjadi depresi.
Depresi biasanya terjadi saat stress yang dialami oleh seseorang tidak kunjung reda, dan depresi yang dialami berkorelasi dengan kejadian dramatis yang baru saja terjadi atau menimpa seseorang. Penyebab depresi bisa dilihat dari faktor biologis (seperti misalnya karena sakit, pengaruh hormonal, depresi pasca-melahirkan, penurunan berat yang drastis) dan faktor psikososial (misalnya konflik individual atau interpersonal, masalah eksistensi, masalah kepribadian, masalah keluarga).
Penyebab depresi dari faktor biologis salah satunya adalah depresi pasca-melahirkan. Iskandar (2007) menerangkan bahwa depresi postpartum terjadi karena kurangnya dukungan terhadap penyesuaian yang dibutuhkan oleh wanita dalam menghadapi aktifitas dan peran barunya sebagai ibu setelah melahirkan. Depresi Postpartum merupakan problem psikis sesudah melahirkan seperti kemunculan kecemasan, labilitas perasaan dan depresi pada ibu.
Perubahan hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap pemicu depresi ini. Diperkirakan sekitar 50-70% ibu melahirkan menunjukkan gejala-gejala awal kemunculan depresi postpartum, walau demikian gejala tersebut dapat hilang secara perlahan karena proses adaptasi dan dukungan keluarga yang tepat.
Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa secara langsung depresi postpartum. Secara medis, dokter menyimpulkan beberapa simtom yang tampak dapat disimpulkan sebagai gangguan depresi postpartum bila memenuhi kriteria gejala yang ada.
Angka kejadian depresi postpartum di Asia cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85% (Iskandar, 2007), sedangkan di Indonesia angka kejadian depresi postpartum antara 50-70% dari wanita pasca persalinan (Hidayat, 2007).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui depresi yang terjadi pada ibu postpartum dan untuk mengetahui cara penerapan asuhan keperawatan pada ibu dengan depresi postpartum.
2. Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi depresi postpartum.
- Untuk mengetahui cara penanggulangan depresi postpartum.
- Mampu menjelaskan mengenai konsep proses keperawatan.
- Mampu menjelaskan :
• Definisi proses keperawatan
• Implikasi proses keperawatan
• Teori yang mendasari proses keperawatan
• Standar praktek keperawatan professional
C. Manfaat
Hasil makalah ini kiranya dapat menambah / memperkaya pengetahuan mahasiswa khususnya ilmu keperawatan maternitas dan penerapan asuhan keperawatannya.
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
I. DEPRESI POST PARTUM
1. PENGERTIAN
Hadi (2004), menyatakan secara sederhana dapat dikatakan bahwa depresi adalah suatu pengalaman yang menyakitkan, suatu perasaan tidak ada harapan lagi.
Kartono (2002), menyatakan bahwa depresi adalah keadaan patah hati atau putus asa yang disertai dengan melemahnya kepekaan terhadap stimulus tertentu, pengurangan aktivitas fisik maupun mental dan kesulitan dalam berpikir, Lebih lanjut Kartono menjelaskan bahwa gangguan depresi disertai kecemasan , kegelisahan dan keresahan, perasaan bersalah, perasaan menurunnya martabat diri atau kecenderungan bunuh diri.
Trisna (Hadi, 2004), menyimpulkan bahwa depresi adalah suatu perasaan sendu atau sedih yang biasanya disertai dengan diperlambatnya gerak dan fungsi tubuh. Mulai dari perasaan murung sedikit sampai pada keadaan tidak berdaya. Individu yakin tidak melakukan apa pun untuk mengubahnya dan merasa bahwa respon apa pun yang dilakukan tidak akan berpengaruh pada hasil yang muncul.
Individu yang mengalami depresi sering merasa dirinya tidak berharga dan merasa bersalah. Mereka tidak mampu memusatkan pikirannya dan tidak dapat membuat keputusan. Individu yang mengalami depresi selalu menyalahkan diri sendiri, merasakan kesedihan yang mendalam dan rasa putus asa tanpa sebab. Mereka mempersepsikan diri sendiri dan seluruh alam dunia dalam suasana yang gelap dan suram. Pandangan suram ini menciptakan perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan yang berkelanjutan (Albin,1991).
Depresi menurut Kaplan dan Sadock (1998), merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta gagasan bunuh diri. Sebagian perempuan menganggap bahwa masa–masa setelah melahirkan adalah masa-masa sulit yang akan menyebabkan mereka mengalami tekanan secara emosional.
Gangguan–gangguan psikologis yang muncul akan mengurangi kebahagiaan yang dirasakan, dan sedikit banyak mempengaruhi hubungan anak dan ibu dikemudian hari.
Hal ini bisa muncul dalam durasi yang sangat singkat atau berupa serangan yang sangat berat selama berbulan–bulan atau bertahun – tahun lamanya.
Secara umum sebagaian besar wanita mengalami gangguan emosional setelah melahirkan. Clydde (Regina dkk, 2001), bentuk gangguan postpartum yang umum adalah depresi, mudah marah dan terutama mudah frustasi serta emosional. Gangguan mood selama periode postpartum merupakan salah satu gangguan yang paling sering terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara. Menurut DSM-IV, gangguan pascasalin diklasifikasikan dalam gangguan mood dan onset gejala adalah dalam 4 minggu pascapersalinan.
Ada 3 tipe gangguan mood pascasalin, diantaranya adalah maternity blues, postpartum depression dan postpartum psychosis (Ling dan Duff, 2001).
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Paltiel (Koblinsky dkk, 1997), bahwa ada 3 golongan gangguan psikis pascasalin yaitu postpartum blues atau sering disebut juga sebagai maternity blues yaitu kesedihan pasca persalinan yang bersifat sementara.
Postpartum depression yaitu depresi pasca persalinan yang berlangsung sampai berminggu – minggu atau bulan dan kadang ada diantara mereka yang tidak menyadari bahwa yang sedang dialaminya merupakan penyakit. Postpartum psychosis, dalam kondisi seperti ini terjadi tekanan jiwa yang sangat berat karena bisa menetap sampai setahun dan bisa juga selalu kambuh gangguan kejiwaannya setiap pasca melahirkan.
Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Pitt (Regina dkk, 2001), depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari dengan menunjukkan kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan kehilangan libido (kehilangan selera untuk berhubungan intim dengan suami). Masih menurut Pitt (Regina dkk, 2001) tingkat keparahan depresi postpartum bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami “kesedihan sementara” yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum, ini disebut dengan the blues atau maternity blues.
Gangguan postpartum yang paling berat disebut psikosis postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif mempunyai tingkat keparahan sedang yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.
Menurut Duffet-Smith (1995), depresi pascasalin bisa berkaitan dengan terjadinya akumulasi stres. Ada stres yang tidak dapat dihindari, seperti operasi. Depresi adalah pengalaman yang negatif ketika semua persoalan tamapak tidak terpecahkan. Persoalan juga tidak akan terpecahkan dengan berpikir lebih positif, tetapi sikap itu akan membuat depresi lebih dapat dikendalikan. Masih menurut Duffet-Smith, faktor kunci dalam depresi pasca persalinan adalah kecapaian yang menjadi kelelahan total. Kepercayaan diri ibu dapat luntur jika ibu merasa tidak mampu menanganinya dan menjadi frustasi karena kelemahan fisiknya.
Inwood (Regina dkk, 2001) menghubungkan fenomena depresi postpartum dengan gangguan perasaan mayor seperti kesedihan, perasaan tidak mampu, kelelahan, insomnia dan anhedonia. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Sloane dan Bennedict (1997), depresi postpartum merupakan tekanan jiwa sesudah melahirkan, mungkin seorang ibu baru akan merasa benar -benar tidak berdaya dan merasa serba kurang mampu, tertindih oleh beban tanggung jawab terhadap bayi dan keluarganya, tidak bisa melakukan apapun untuk menghilangkan perasaan itu.
Depresi pascalahir dapat berlangsung sampai 3 bulan atau lebih dan berkembang menjadi depresi lain yang lebih berat atau lebih ringan. Gejalanya sama saja tetapi disamping itu ibu mungkin terlalu memikirkan kesehatan bayinya dan kemampuannya sebagai seorang ibu (Wilkinson, 1995).
Monks dkk (1988), menyatakan bahwa depresi postpartum merupakan problem psikis sesudah melahirkan seperti labilitas afek, kecemasan dan depresi pada ibu yang dapat berlangsung berbulan – bulan. Sloane dan Bennedict (1997) menyatakan bahwa depresi postpartum biasanya terjadi pada 4 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus 1 – 2 minggu.
Lewellyn–Jones (1994), menyatakan bahwa wanita yang didiagnosa secara klinis pada masa postpartum mengalami depresi dalam 3 bulan pertama setelah melahirkan. Wanita yang menderita depresi postpartum adalah mereka yang secara sosial dan emosional merasa terasingkan atau mudah tegang dalam setiap kejadian hidupnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa depresi postpartum adalah gangguan emosional pasca persalinan yang bervariasi, terjadi pada 10 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus – menerus sampai 6 bulan bahkan sampai satu tahun.
2. FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB DEPRESI POSTPARTUM
Cycde (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa depresi postpartum tidak berbeda secara mencolok dengan gangguan mental atau gangguan emosional. Suasana sekitar kehamilan dan kelahiran dapat dikatakan bukan penyebab tapi pencetus timbulnya gangguan emosional.
Nadesul (1992), penyebab nyata terjadinya gangguan pasca melahirkan adalah adanya ketidakseimbangan hormonal ibu, yang merupakan efek sampingan kehamilan dan persalinan.
Sarafino (Yanita dan Zamralita, 2001), faktor lain yang dianggap sebagai penyebab munculnya gejala ini adalah masa lalu ibu tersebut, yang mungkin mengalami penolakan dari orang tuanya atau orang tua yang overprotective, kecemasan yang tinggi terhadap perpisahan, dan ketidakpuasaan dalam pernikahan. Perempuan yang memiliki sejarah masalah emosional rentan terhadap gejala depresi ini, kepribadian dan variable sikap selama masa kehamilan seperti kecemasan, kekerasan dan kontrol eksternal berhubungan dengan munculnya gejala depresi.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Llewellyn–Jones (1994), karakteristik wanita yang berisiko mengalami depresi postpartum adalah : wanita yang mempunyai sejarah pernah mengalami depresi, wanita yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis, wanita yang kurang mendapatkan dukungan dari suami atau orang–orang terdekatnya selama hamil dan setelah melahirkan, wanita yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama masa kehamilannya misalnya kurang komunikasi dan informasi, wanita yang mengalami komplikasi selama kehamilan.
Pitt (Regina dkk, 2001), mengemukakan 4 faktor penyebeb depresi postpartum sebagai berikut :
a. Faktor konstitusional.
Gangguan post partum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat obstetri pasien yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah ada komplikasi dari kehamilan dan persalinan sebelumnya dan terjadi lebih banyak pada wanita primipara. Wanita primipara lebih umum menderita blues karena setelah melahirkan wanita primipara berada dalam proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri begitu bayi lahir jika ibu tidak paham perannya ia akan menjadi bingung sementara bayinya harus tetap dirawat.
b. Faktor fisik.
Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan mental selama 2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik dihubungkan dengan kelahiran pertama merupakan faktor penting. Perubahan hormon secara drastis setelah melahirkan dan periode laten selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini sangat berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron naik dan estrogen yang menurun secara cepat setelah melahirkan merupakan faktor penyebab yang sudah pasti.
c. Faktor psikologis.
Peralihan yang cepat dari keadaan “dua dalam satu” pada akhir kehamilan menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian psikologis individu. Klaus dan Kennel (Regina dkk, 2001), mengindikasikan pentingnya cinta dalam menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai hubungan baik antara ibu dan anak.
d. Faktor sosial.
Paykel (Regina dkk, 2001) mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak memadai lebih sering menimbulkan depresi pada ibu – ibu, selain kurangnya dukungan dalam perkawinan.
Menurut Kruckman (Yanita dan zamralita, 2001), menyatakan terjadinya depresi pascasalin dipengaruhi oleh faktor :
1) Biologis.
Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat kadar hormon seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas atau mungkin perubahan hormon tersebut terlalu cepat atau terlalum lambat.
2) Karakteristik ibu, yang meliputi :
a) Faktor umur.
Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi seseorang perempuan untuk melahirkan pada usia antara 20–30 tahun, dan hal ini mendukung masalah periode yang optimal bagi perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang ibu.
b) Faktor pengalaman.
Beberapa penelitian diantaranya adalah pnelitian yang dilakukan oleh Paykel dan Inwood (Regina dkk, 2001) mengatakan bahwa depresi pascasalin ini lebih banyak ditemukan pada perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri muda dari kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari mereka mengalami krisis setelah kelahiran bayi pertama.
c) Faktor pendidikan.
Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan social dan konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah, dengan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari anak–anak mereka (Kartono, 1992).
d) Faktor selama proses persalinan.
Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan yang bersangkutan akan menghadapi depresi pascasalin.
e) Faktor dukungan sosial.
Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan dan pascasalin, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit banyak berkurang.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab depresi postpartum adalah faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal, faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu.
3. GEJALA - GEJALA DEPRESI POSTPARTUM
Depresi merupakan gangguan yang betul–betul dipertimbangkan sebagai psikopatologi yang paling sering mendahului bunuh diri, sehingga tidak jarang berakhir dengan kematian. Gejala depresi seringkali timbul bersamaan dengan gejala kecemasan. Manifestasi dari kedua gangguan ini lebih lanjut sering timbul sebagai keluhan umum seperti : sukar tidur, merasa bersalah, kelelahan, sukar konsentrasi, hingga pikiran mau bunuh diri.
Menurut Vandenberg (dalam Cunningham dkk, 1995), menyatakan bahwa keluhan dan gejala depresi postpartum tidak berbeda dengan yang terdapat pada kelainan depresi lainnya. Hal yang terutama mengkhawatirkan adalah pikiran – pikiran ingin bunuh diri, waham–waham paranoid dan ancaman kekerasan terhadap anak–anaknya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ling dan Duff (2001), bahwa gejala depresi postpartum yang dialami 60 % wanita hampir sama dengan gejala depresi pada umumnya.
Tetapi dibandingkan dengan gangguan depresi yang umum, depresi postpartum mempunyai karakteristik yang spesifik antara lain :
a) Mimpi buruk.
Biasanya terjadi sewaktu tidur REM. Karena mimpi – mimpi yang menakutkan, individu itu sering terbangun sehingga dapat mengakibatkan insomnia.
b) Insomnia.
Biasanya timbul sebagai gejala suatu gangguan lain yang mendasarinya seperti kecemasan dan depresi atau gangguan emosi lain yang terjadi dalam hidup manusia.
c) Phobia.
Rasa takut yang irasional terhadap sesuatu benda atau keadaan yang tidak dapat dihilangkan atau ditekan oleh pasien, biarpun diketahuinya bahwa hal itu irasional adanya. Ibu yang melahirkan dengan bedah Caesar sering merasakan kembali dan mengingat kelahiran yang dijalaninya. Ibu yang menjalani bedah Caesar akan merasakan emosi yang bermacam–macam. Keadaan ini dimulai dengan perasaan syok dan tidak percaya terhadap apa yang telah terjadi. Wanita yang pernah mengalami bedah Caesar akan melahirkan dengan bedah Caesar pula untuk kehamilan berikutnya. Hal ini bisa membuat rasa takut terhadap peralatan peralatan operasi dan jarum (Duffet-Smith, 1995).
d) Kecemasan.
Ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahuinya.
e) Meningkatnya sensitivitas.
Periode pasca kelahiran meliputi banyak sekali penyesuaian diri dan pembiasaan diri. Bayi harus diurus, ibu harus pulih kembali dari persalinan anak, ibu harus belajar bagaimana merawat bayi, ibu perlu belajar merasa puas atau bahagia terhadap dirinya sendiri sebagai seorang ibu. Kurangnya pengalaman atau kurangnya rasa percaya diri dengan bayi yang lahir, atau waktu dan tuntutan yang ekstensif akan meningkatkan sensitivitas ibu (Santrock, 2002).
f) Perubahan mood.
Menurut Sloane dan Bennedict (1997), menyatakan bahwa depresi postpartum muncul dengan gejala sebagai berikut : kurang nafsu makan, sedih – murung, perasaan tidak berharga, mudah marah, kelelahan, insomnia, anorexia, merasa terganggu dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi, melukai diri, anhedonia, menyalahkan diri, lemah dalam kehendak, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mau berhubungan dengan orang lain. Di sisi lain kadang ibu jengkel dan sulit untuk mencintai bayinya yang tidak mau tidur dan menangis terus serta mengotori kain yang baru diganti. Hal ini menimbulkan kecemasan dan perasaan bersalah pada diri ibu walau jarang ditemui ibu yang benar–benar memusuhi bayinya.
Menurut Nevid dkk (1997), depresi postpartum sering disertai gangguan nafsu makan dan gangguan tidur, rendahnya harga diri dan kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau perhatian.
Kriteria diagnosis spesifik depresi postpartum tidak dimasukkan di dalam DSM-IV, dimana tidak terdapat informasi yang adekuat untuk membuat diagnosis spesifik. Diagnosis dapat dibuat jika depresi terjadi dalam hubungan temporal dengan kelahiran anak dengan onset episode dalam 4 minggu pasca persalinan.
Menurut DSM IV, simptom–simptom yang biasanya muncul pada episode postpartum antara lain perubahan mood, labilitas mood dan sikap yang berlebihan terhadap bayi. Wanita yang menderita depresi postpartum sering mengalami kecemasan yang sangat hebat dan sering panik. Meskipun belum ada kriteria diagnosis spesifik dalam DSM-IV, secara karakteristik penderita depresi postpartum mulai mengeluh kelelahan, perubahan mood, memiliki episode kesedihan, kecurigaan dan kebingungan serta tidak mau berhubungan dengan orang lain.
Selain itu, penderita depresi postpartum memiliki perasaan tidak ingin merawat bayinya, tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya.
Gejala depresi pascasalin ini memang lebih ringan dibandingkan dengan psikosis pascasalin. Meskipun demikian, kelainan–kelainan tersebut memiliki potensi untuk menimbulkan kesulitan atau masalah bagi ibu yang mengalaminya (Kruckman dalam Yanita dan Zamralita, 2001).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gejala–gejala depresi postpartum antara lain adalah trauma terhadap intervensi medis yang dialami, kelelahan, perubahan mood, gangguan nafsu makan, gangguan tidur, tidak mau berhubungan dengan orang lain, tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya.
II. PROSES KEPERAWATAN
A. DEFINISI
Proses keperawatan dapat didefenisikan berdasarkan tiga dimensi yaitu: tujuan, organisasi, dan property/karaktersitik.
a. Tujuan
Tujuan proses keperawatan secara umum adalah membangun kerangka konsep untuk memenuhi kebutuhan individu klien, keluarga, dan masyarakat.
Menurut Yura dan walsh (1983), proses keperawatan merupakan suatu tahapan desain tindakan yang digunakan untuk memenuhi tujuan keperawatan, antara lain :
- Mempertahankan kondisi kesehatan optimal pasien
- Melakukan tindakan untuk mengembalikan kondisi pasien menjadi normal kembali
- Memfasilitasi kualitas kehidupan yang maksimal berdasarkan kondisi pasien sehingga ia bisa mencapai derajat kehidupan yang baik
b. Organisasi
Berdasarkan dimensi organisasi, proses keperawatan dikelompokanmenjadi 5 tahap, yaitu: pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Kelima tahapan ini merupakan proses terorganisir yang mengatur pelaksanaan asuhan keperawatan berdasarkan rangkaian pengelolaan klien secara sistematik
c. Karekteristik
Terdapat 6 karakteristik dari proses keperawatan itu, antara lain:
1) Tujuan : memiliki tujuan jelas yaitu untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada klien
2) Sistematik: menggunakan pendekatan yang terorganisir dalam mencapai tujuan. Sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan serta menghindari terjadinya kesalahan.
3) Dinamik: proses keperawatan dilakukan secara berkesinambungan. Serta ditujukan untuk mengatasi perubahan respon klien yang diidentikan melalui hubungan antara perawat dengan klien.
4) Interaktif: proses keperawatan memiliki dasar hubungan yaitu hubungan timbal balik antara perawat, klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lain.
5) Fleksibel: fleksibilitas proses keperawatan ini dapat dilihat dalam dua konteks, yaitu:
a) Dapat diadopsi dalam praktek keperawatan dalam situasi apapun, baik dalam kaitannya dengan individu, keluarga, atau masyarakat
b) Tahapannya dapat dilakukan berurutan sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak.
6) Teoritis : setiap langkah dalam keperawatan selalu berdasarkan pada konsep ilmu keperawatan.
Berdasarka karakter teoritis ini, maka asuhan keperawatan pada klien hendaknya menekankan pada tiga aspek penting, antara lain :
a. Humanistic : memandang dan memperlakukan klien sebagai manusia
b. Holistic : intervensi keperawatan harus memenuhi kebutuhan dasar manusia secara utuh, yakni bio-psiko-sosio-spiritual.
c. Care: asuhan keperawatan yang diberikan hendaknya berlandaskan pada standar praktek keperawatan dank ode etik keperawatan.
B. IMPLIKASI
Penerapan proses keperawatan memberikan dampak atau implikasi terhadap profesi keperawatan, klin dan perawat itu sendiri.
a. Profesi
Secara professional, profesi keperawatan melalui 5 tahapan menyajikan lingkup praktik keperawatan yang secara terus menerus mendefinisikan perannya baik terhadap klien maupun profesi kesehatan lainnya.
Dengan demikian perawat bekerja melakukan sesuatu bukan hanya sekedar melaksanakan perintah dokter, melainkan melalui perencanaan keperawatan yang matang.
b. Klien
Proses keperawatan mendorong klien dan keluarga berpartisifasi aktif dan terlibat ke dalam 5 tahapan proses tersebut.
Selama pengkajian, klien menyediakan informasi yang dibutuhkan, selanjutnya memberikan validasi diagnosa keperawatan, dan menyediakan umpan balik selama evaluasi.
c. Perawat
Beberapa hal yang dapat diperoleh dari proses keperawatan, antara lain:
1) Meningkatkan kepuasan dan perkembangan profesionalisasi perawat
2) Meningkatkan hubungan antara klien dengan perawat.
3) Meningkatkan pengembangan kreativitas dalam penyelesaian masalah klien.
C. TEORI YANG MENDASARI
a) Teori sistem
b) Teori kebutuhan manusia
c) Teori persepsi
d) Teori informasi dan komunikasi
e) Teori pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah
D. STANDAR PRAKTEK KEPERAWATAN PROFESSIONAL
Standar prakek keperawatan nasional merupakan pedoman bagi perawat Indonesia, baik generalis maupun spesialis di seluruh tatanan pelayanan kesehatan (RS, Puskesmas, dll) dalam melakukan asuhan keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan.
Standar praktek keperawatan di Indonesia, sebagaimana telah dijabarkan oleh PPNI, mengacu pada tahapan dalam proses keperawatan yakni terdiri dari 5 standar antara lain: (1) pengkajian; (2) diagnosa keperawatan; (3) perencanaan; (4) implementasi; dan (5) evaluasi.
1. Standar I : Pengkajian Keperawatan
Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara akurat, menyeluruh, singkat, dan berkesinambungan.
Kriteria Proses:
a. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan mempelajari data penunjang (hasil lab, catatan klien lainnya)
b. Sumber data terdiri dari sumber data primer dan sekunder.
c. Sumber data primer berasal dari pengkajian langsung terhadap klien. Sedangkan sumber data sekunder berasal dari selain klien, misalnya: keluarga atau orang terkait, tim kesehatan, rekam medis, dan catatan lainnya.
d. Data yang dikumpulkan, berfokus untuk mengidentifikasi:
1) Status kesehatan klien saat ini
2) Status kesehatan klien masa lalu
3) Status fisiologis-psikologis-sosial-spiritual
4) Harapan terhadap tingkat kesehatan yang optimal
2. Standar II : Diagnosa Keperawatan
Perawat melakukan analisis terhadap data-data yang dikumpulkan selama pengkajian untuk menegakan Diagnosa Keperawatan.
Kriteria Proses:
a. Proses diagnosa keperawatan terdiri dari: analisis, interpretasi data, identifikasi masalah klien, dan perumusan diagnosa keperawatan.
b. Komponen diagnosa keperawatan terdiri dari:
- P (Problem) = masalah
- E (Etiology) = penyebab
- S (Symptom) = tanda dan gejala
Akan tetapi terkadang hanya terdiri dari P dan E saja.
c. Validasi diagnosa dilakukan dengan cara bekerjasama dengan klien dan berusaha untuk dekat dengan klien atau petugas kesehatan lain.
d. Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa keperawatan berdasarkan data terbaru.
3. Standar III : Perencanaan
Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan klien.
Kriteria Proses:
a. Perencanan terdiri dari penetapan:
- Prioritas masalah
- Tujuan
- Rencana tindakan
b. Melibatkan klien dalam membuat perencanaan keperawatan
c. Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi dan kebutuhan klien saat itu
d. Mendokumentasikan rencana keperawatan
4. Standar IV : Implementasi
Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam asuhan keperawatan.
Kriteria Proses:
a. Bekerjasama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan
b. Berkolaborasi dengan profesi kesehatan lain untuk meningkatkan kesehatan lain
c. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah kesehatan klien
d. Melakukan supervisi terhadap tenaga pelaksana keperawatan dibawah tanggungjawabnya
e. Menjadi coordinator pelayanan & advocator bagi klien dalam mencapai tujuan perawatan
f. Menginformasikan kepada klien tentang status kesehatan dan fasilitasi-fasilitasi pelayanan kesehatan yang ada.
g. Memberikan pendidikan pada klien & keluarga mengenai konsep keterampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang digunakan
h. Mengkaji ulang & merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respon klien.
5. Standar V : Evaluasi
Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan dalam pencapaian tujuan dan merevisi data dasar serta perencanaan.
Kriteria Proses:
a. Menyusun perencanaan evaluasi hasil terhadap intervensi secara komprehensif, tepat waktu dan terus menerus.
b. Menggunakan data dasar dan respon klien dalamme ng ukur perkembangan ke arah pencapaian tujuan
c. Memvalidasidan menganalisa data baru dengan teman sejawat dan klien
d. Bekerjasama dengan klien dan keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan keperawatan
e. Mendokumentasi hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan
BAB III
PENERAPAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA IBU DENGAN DEPRSI POST PARTUM
1. PENGKAJIAN
Pengenalan gejala mood merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh perawat perinatal. Rencana keperawatan harus merefleksikan respons perilaku yang diharapkan dari gangguan tertentu. Rencan individu didasarkan pada karakteristik wanita dan keadaannya yang spesifik. Suami atau pasangan wanita tersebut juga dapat mengalami gangguan emosional akibat perilaku wanita tersebut.
Pengkajian pada pasien post partum blues menurut Bobak ( 2004 ) dapat dilakukan pada pasien dalam beradaptasi menjadi orang tua baru. Pengkajiannya meliputi ;
a. Identitas klien.
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record dan lain-lain
b. Keluhan Utama
Mudah marah, cemas, melukai diri
c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada Ibu dengan depresi postpartum biasanya terjadi kurang nafsu makan, sedih – murung, mudah marah, kelelahan, insomnia, anorexia, merasa terganggu dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi, melukai diri
2) Riwayat Kesehatan Dahulu
Berhubungan dengan kejadian pada persalinan masa lalu serta kesehatan pasien
3) Riwayat kesehatan keluarga
Berhubungan dengan dukungan keluarga terhadap keadaan pasien
d. Riwayat Persalinan
Banyak ibu memperlihatkan suatu kebutuhan untuk memeriksa proses kelahiran itu sendiri dan melihat kembali perilaku mereka saat hamil dalam upaya retrospeksi diri (Konrad, 1987). Selama hamil, ibu dan pasangannya mungkin telah membuat suatu rencana tertentu tentang kelahiran anak mereka, hal-hal yang mencakup kelahiran pervagina dan beberapa intervensi medis. Apabila pengalaman mereka dalam persalinan sangat berbeda dari yang diharapkan (misalnya ; induksi, anestesi epidural, kelahiran sesar), orang tua bisa merasa kecewa karena tidak bisa mencapai yang telah direncanakan sebelumnya. Apa yang dirasakan orang tua tentang pengalaman melahirkan sudah pasti akan mempengaruhi adaptasi mereka untuk menjadi orang tua.
e. Citra Diri Ibu
Suatu pengkajian penting mengenai konsep diri, citra tubuh, dan seksualitas ibu. Bagaimana perasaan ibu baru tentang diri dan tubuhnya selama masa nifas dapat mempengaruhi perilaku dan adaptasinya dalam menjadi orang tua. Konsep diri dan citra tubuh ibu juga dapat mempengaruhi seksualitasnya. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan penyesuaian perilaku seksual setelah melahirkan seringkali menimbulkan kekhawatiran pada orang tua baru. Ibu yang baru melahirkan bisa merasa enggan untuk memulai hubungan seksual karena takut merasa nyeri atau takut bahwa hubungan seksual akan mengganggu penyembuhan jaringan perineum.
f. Interaksi Orang Tua-Bayi
Suatu pengkajian pada masa nifas yang menyeluruh meliputi evaluasi interaksi orang tua dengan bayi baru. Respon orang tua terhadap kelahiran anak meliputi perilaku adaptif dan perilaku maladatif. Baik ibu maupun ayah menunjukkan kedua jenis perilaku maupun saat ini kebanyakan riset hanya berfokus pada ibu. Banyak orang tua baru mengalami kesulitan untuk menjadi orang tua sampai akhirnya keterampilan mereka membaik. Kualitas keibuan atau kebapaan pada perilaku orang tua membantu perawatan dan perlindungan anak. Tanda-tanda yang menunjukkan ada atau tidaknya kualitas ini, terlihat segera setelah ibu melahirkan, saat orang tua bereaksi terhadap bayi baru lahir dan melanjutkan proses untuk menegakkan hubungan mereka.
g. Perilaku Adaptif dan Perilaku Maladaptif
Perilaku adaptif berasal dari penerimaan dan persepsi realistis orang tua terhadap kebutuhan bayinya yang baru lahir dan keterbatasan kemampuan mereka, respon social yang tidak matur, dan ketidakberdayaannya. Orang tua menunjukkan perilaku yang adaptif ketika mereka merasakan suka cita karena kehadiran bayinya dan karena tugas-tugas yang diselesaikan untuk dan bersama anaknya, saat mereka memahami yang dikatakan bayinya melalui ekspresi emosi yang diperlihatkan bayi dan yang kemudian menenangkan bayinya, dan ketika mereka dapat membaca gerakan bayi dan dapat merasa tingkat kelelahan bayi. Perilaku maladaptif terlihat ketika respon orang tua tidak sesuai dengan kebutuhan bayinya. Mereka tidak dapat merasakan kesenangan dari kontak fisik dengan anak mereka. Bayi-bayi ini cenderung akan dapat diperlakukan kasar. Orang tua tidak merasa tertarik untuk melihat anaknya. Tugas merawat anak seperti memandikan atau mengganti pakaian, dipandang sebagai sesuatu yang menyebalkan. Orang tua tidak mampu membedakan cara berespon terhadap tanda yang disampaikan oleh bayi, seperti rasa lapar, lelah keinginan untuk berbicara dan kebutuhan untuk dipeluk dan melakukan kontak mata. Tampaknya sukar bagi mereka untuk menerima anaknya sebagai anak yang sehat dan gembira.
h. Struktur dan Fungsi Keluarga
Komponen penting lain dalam pengkajian pada pasien post partum blues ialah melihat komposisi dan fungsi keluarga. Penyesuaian seorang wanita terhadap perannya sebagai ibu sangat dipengaruhi oleh hubungannya dengan pasangannya, ibunya dengan keluarga lain, dan anak-anak lain. Perawat dapat membantu meringankan tugas ibu baru yang akan pulang dengan mengkaji kemungkinan konflik yang bisa terjadi diantara anggota keluarga dan membantu ibu merencanakan strategi untuk mengatasi masalah tersebut sebelum keluar dari rumah sakit
i. Perubahan Mood.
Kurang nafsu makan, sedih – murung, perasaan tidak berharga, mudah marah, kelelahan, insomnia, anorexia, merasa terganggu dengan perubahan fisik, sulit konsentrasi, melukai diri, anhedonia, menyalahkan diri, lemah dalam kehendak, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, tidak mau berhubungan dengan orang lain. Di sisi lain kadang ibu jengkel dan sulit untuk mencintai bayinya yang tidak mau tidur dan menangis terus serta mengotori kain yang baru diganti. Hal ini menimbulkan kecemasan dan perasaan bersalah pada diri ibu walau jarang ditemui ibu yang benar–benar memusuhi bayinya.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan stress kelahiran, konsep diri negative, system pendukung, yang tidak adekuat
Batasan Karakteristik:
- Gangguan tidur
- Penyalahgunaan bahan kimia
- Penurunan penggunaan dukungan sosial
- Konsentrasi yang buruk
- Kelelahan
- Problem solving tidak adekuat
- Mengeluhkan ketidakmampuan koping atau ketidakmampuan untuk meminta bantuan
- Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan dasar
- Perilaku merusak terhadap diri atau orang lain
- Ketidakmampuan memnuhi harapan peran
- Tingkat kesakitan/penyakit yang tinggi
- Perubahan dalam pola komunikasi
- Menggunakan bentuk koping yang meghalangi/mengganggu perilaku adaptif
- Kurangnya perilaku yang bertujuan langsung/resolusi masalah, termasuk ketidakmampuan untuk merawat, dan kesulitan mengorganisasikan informasi
b. Kecemasan berhubungan dengan stress psikologi
Batasan karakteristik :
1) Perilaku
- Penurunan produktivitas
- Gelisah
- Insomnia
- Resah
2) Afektif
- Kesedihan yang mendalam
- Takut
- Gugup
- Mudah tersinggung
- Nyeri hebat
- Ketakutan
- Distres
- Khawatir
- Cemas
3) Fisiologi
- Goyah
- Peningkatan respirasi (simpatis)
- Peningkatan keringat
- Wajah tegang
- Anoreksia (simpatis)
- Kelelahan (parasimpatis)
- Gugup (simpatis)
- Mual (parasimapatis)
- Pusing (parasimpatis)
4) Kognitif
- Bingung
- Kerusakan perhatian
- Ketakutan terhadap hal yang tidak jelas
- Sulit berkonsentrasi
c. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan depresi berat
Batasan Karakteristik :
- Mengungkapka /menunjukan ketidakmampuan untuk menerima atau mengkomunikasikan rasa kepuasan, rasa memiliki, menyayangi, ketertarikan atau membagi pengalaman
- Mengungkapkan / menunjukan ketidaknyamanan dalam situasi sosial
- Menunjukkan penggunaan perilaku interaksi social tidak berhasil
- Keluarga melaporkan perubahan gaya hidup atau pola interaksi
d. Kerusakan pola tidur berhubungan dengan kelelahan, kekhawatiran financial
Batasan karakteristik :
- Terbangun dalam waktu lama
- Insomnia dalam waktu lama
- Kerusakan pola normal karena diri sendiri
- Insomnia pagi hari
- Terbangun lebih awal atau terlambat bangun
- Mengeluh untuk mulai tidur
- Tidur tidak puas
- Tiga kali atau lebih bangun di malam hari.
e. Risiko kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan dengan status emosional post partum
Batasan karakteristik :
- Putus asa
- Penolakan
- Cemas
- Panic
- Mudah marah
- Permusuhan
3. PERENCANAAN
a. Diagnose 1 : Koping individu tidak efektif
NOC : Anxiety Control (1402)
Indikasi :
- Kontrol instensitas cemas
- Eliminasi tanda cemas
- Menggunakan strategi koping efektif
- Menggunakan teknik relaksasi untuk menekan kecemasan
NIC : Counseling (5240)
Aktivitas :
- Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan kecemasan.
- Bantu pasien untuk menfokuskan pada situasi saat ini, sebagai alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi kecemasan.
- Sediakan pengalihan melalui televise, radio, permainan serta terapi okupasi untuk mengurangi kecemasan dan memperluas focus.
- Sediakan penguatan yang positif ketika apsien mampu meneruskan aktivitas sehari-hari dan lainnnya meskipun mengalami Kecemasan.
b. Diagnosa 2 : Kecemasan
NOC : Anxiety Control (1402)
Indikasi :
- Kontrol instensitas cemas
- Eliminasi tanda cemas
- Menggunakan strategi koping efektif
- Menggunakan teknik relaksasi untuk menekankecemasan
NIC : Counseling (5240)
Aktivitas :
- Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan kecemasan.
- Bantu pasien untuk menfokuskan pada situasi saat ini, sebagai alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi kecemasan.
- Sediakan pengalihan melalui televise, radio, permainan serta terapi okupasi untuk mengurangi kecemasan dan memperluas focus.
- Sediakan penguatan yang positif ketika apsien mampu meneruskan aktivitas sehari-hari dan lainnnya meskipun mengalami Kecemasan.
c. Diagnosa 3 : Kerusakan interaksi soial
NOC : Social Interaction Skill (1502)
- Pengungkapan,
- Kesiapan
- Kerjasama
- Kepekaan
- Konfrontasi
- Pertimbangan
- Kehangatan
- Ketenangan
- Relaksasi
- Keterlibatan
- Kepercayaan dan Kompromi
NIC :
- mendorong keterlibatan ditingkatkan dalam hubungan yang sudah ditetapkan
- mendorong pasien dalam pengembangan hubungan
- mendorong untuk berhubungan dengan orang lain
- mendorong untuk beraktivitas dalam masyarakat / social
- mendorong untuk berbagi masalah dengan orang lain
d. Diagnosa 4 : Gangguan istirahat dan tidur
NOC : REST (0003)
Indikasi :
- Banyaknya tidur
- Pola tidur
- Kualitas tidur
- Tidur fisik (ketenangan)
NIC : SLEEP ENHACEMENT (1850)
Aktivitas :
- Pantau pola tidur dan catat hubungan faktor-faktor fisik
- Hindari suara keras dan penggunaan lampu saat tidur malam
- Cari teman sekamar yang cocok bagi pasien, jika memungkinkan.
- Ajarkan pada pasien untuk menghindari makanan dan minuman pada jam tidur yang dapat mengganggu tidur
- Berikan tidur siang jika diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tidur
e. Diagnosa 5 : Risiko kekerasan terhadap diri sendiri
NOC :
- Interaksi sosial
- Tanda-tanda akan melakukan kekerasan seperti ingin marah, jengkel, ingin merusak, memukul,dll.
- Mengenal penanganan klien dengan perilaku kekerasan
- Penanganan klien dengan perilaku kekerasan
- Bantuan yang adaptif pada klien dengan perilaku kekerasan
- Cara yang dipilih untuk membantu merubah perilaku klien
- Tingkat kemarahan
NIC :
v Bantuan kontrol marah
- Prinsip komunikasi terapeutik
- Pertahankan konsistensi sikap (terbuka,tepati janji, hindari kesan negatif)
- Gunakan tahap-tahap interaksi dengantepat
- Observasi tanda-tanda perilaku kekerasan padaklien
- Bantu klien mengidentifikasi tanda-tanda perilakukekerasan : (emosi, fisik, social, spiritual,)
- Jelaskan pada klien tentang respon marah
- Dukung dan fasilitasi klien untuk mencari bantuansaat muncul marah
- Diskusikan bersama klien pangaruh negatif perilaku kekerasan terhadap dirinya, orang laindan lingkungan
v Libatkan keluarga dalam perawatan klien
- Identifikasi kultur, peran, dan situasikeluarga dalam pengaruhnya terhadap perilaku klien
- Berikan informasi yang tepat tentang penanganan klien dengan perilaku marahkekerasan
- Ajarkan ketrampilan koping efektif yangdigunakan untuk penangannan klien perilakukekerasand.berikan konseling pada keluarga
- Bantu keluarga memilih untuk menentukan dalam penanganan klien dengan perilakukekerasan
- Fasilitasi pertemuan keluarga dengan pemberi perawatan
- Beri kesempatan pada keluarga untuk mendiskusikan cara yang dipilih
- Anjurkan pada keluarga untuk menerapkancara yang dipilih
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Depresi postpartum adalah gangguan emosional pasca persalinan yang bervariasi, terjadi pada 10 hari pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus - menerus sampai 6 bulan bahkan sampai satu tahun.
Faktor penyebab depresi postpartum adalah faktor konstitusional, faktor fisik yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan hormonal, faktor psikologi, faktor sosial dan karakteristik ibu, dengan gejala–gejalanya antara lain adalah trauma terhadap intervensi medis yang dialami, kelelahan, perubahan mood, gangguan nafsu makan, gangguan tidur, tidak mau berhubungan dengan orang lain, tidak mencintai bayinya, ingin menyakiti bayi atau dirinya sendiri atau keduanya.
Untuk mengatasi depresi tersebut dibutuhkan pendekatan dalam pemecahan masalah yang sistematis untuk memberikan asuhan keperawatan terhadap setiap orang (ibu yang mengalami depresi).
Proses keperawatan secara umum diartikan sebagai pendekatan dalam pemecahan masalah yang sistematis untuk memberikan asuhan keperawatan terhadap setiap orang.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama pengkajian antara lain:
1. Memahami secara keseluruhan situasi yang sedang dihadapi oleh klien dengan cara memperhatikan kondisi fisik, psikologi, emosi, sosialkultural, dan spiritual yagn bisa mempengaruhi status kesehatannya.
2. Mengumpulkan semua informasi yang bersangkutan dengan masa lalu, saat ini bahkan bahkan sesuatu yang berpotensi menjadi masalah bagi klien guna membuat suatu database yang lengkap. Data yang terkumpul berasal dari perawat-klien selama berinteraksi dan sumber yang lain.
3. Memahami bahwa klien adalah sumber informasi primer.
Sumber informasi sekunder meliputi anggota keluarga, orang yang berperan penting dan catatan kesehatan klien.
B. Saran
Sehubungan dengan rumitnya kondisi pasien dengan depresi postpartum maka diharapkan dalam pelaksanaan perawatan dalam hal ini pemberian asuhan keperawatan memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan teori persepsi, antara lain :
- Perubahan dalam pemenuhan kebutuhan manusia sangat dipengaruhi oleh persepsi individu yang berbeda antara satu dengan yang lain. Hal ini akan membawa konsekwensi terhadap permasalahan keperawatan yang ditegakan pada setiap individu. Meskipun sumber masalah yang dihadapinya sama, akan tetapi setiap individu memiliki persepsi dan respon yang berbeda-beda. Misalnya, walaupun kedua pasien mengalami penyakit / masalah yang sama, akan tetapi permasalahan keperawatan yang dihadapi tidak mesti sama.
- Untuk memahami arti persepsi, maka seseorang harus mengadakan pendekatan melalui karakteristik individu yang mempersepsikan dalam situasi yang memunyai makna bagi kita. Makna di sini mengandung arti penjabaran dari persepsi, ingatan, dan tindakan. Dengan demikian persepsi memiliki arti penting dalam kehidupan, dimana kira bisa mengumpulkan data dari informasi tentang diri sendiri, kebutuhan manusia, dan lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
- Budi Santosa. Panduan Diagnosa Keperawatan – Nanda 2005-2006. Prima Medika : Jakarta
- Http://Www.Scribd.Com/Doc/23775250/Depresi-Post-Partum
- Http://Klinis.Wordpress.Com/2007/12/29/Depresi-Postpartum/
- Johnson, Marion,dkk. Nursing Outcome Classification (NOC). St. Louis, Missouri: Mosby Yearbook,Inc.
- Mc. Closkey, Joanne. 1996. Nursing Intervention Classsification (NIC). St. Louis, Missouri: Mosby Yearbook,Inc.
- Nursalam, 2001, Proses & Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktek, Salemba Medika, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar